Ya Rosulallah salamun ‘alaik.. Ya Rofî’asy-syani Waddaroji.. (2x)
Athfatan ya jîrotal ‘alami.. Ya Uhailal Juudi Wal Karomi.. (2x)
Kekasih Kita Nabi Muhammad.. Dambaan Kita Nabi Muhammad
Pemimpin Kita Nabi Muhammad.. Idola Kita Nabi Muhammad
2x
Ya Rosulallah salamun ‘alaik.. Ya Rofî’asy-syani Waddaroji.. (2x)
Athfatan ya jîrotal ‘alami.. Ya Uhailal Juudi Wal Karomi.. (2x)
Sholawat Salam Tetap Padamu.. Duhai Sang Nabi Penyejuk Hatiku
Kami Semua Selalu Rindu.. Betapa Hasrat Ingin Bertemu (2x)
Datanglah Wahai Sang Kekasihku.. Hadirlah Dalam Mimpi Indahku
Ya Rosulallah salamun ‘alaik.. Ya Rofî’asy-syani Waddaroji.. (2x)
Athfatan ya jîrotal ‘alami.. Ya Uhailal Juudi Wal Karomi.. (2x)
Tauladan Kita Nabi Muhammad.. Penuntun Kita Nabi Muhammad
Junjungan Kita Nabi Muhammad.. Panutan Kita Nabi Muhammad
2x
Ya Rosulallah salamun ‘alaik.. Ya Rofî’asy-syani Waddaroji.. (2x)
Athfatan ya jîrotal ‘alami.. Ya Uhailal Juudi Wal Karomi.. (2x)
Allohu Robbi ku Mohon Do'a.. Ampuni Salah dan Juga Dosa
Jadikan kami Insan yang Mulia.. Hati yang Ikhlas juga Bertaqwa (2x)
Kumpulkan kami dan keluarga.. Bersama Nabi Kekasih Surga
Ya Rosulallah salamun ‘alaik.. Ya Rofî’asy-syani Waddaroji.. (2x)
Athfatan ya jîrotal ‘alami.. Ya Uhailal Juudi Wal Karomi.. (2x)
Yogi Hafidz Na'li Rosul {NR}
Rabu, 17 Januari 2018
Sabtu, 28 Oktober 2017
ARTI DAN SEJARAH HALAQAH
Oleh: Ummu Hasnaa Fajriah Nur, S.Pd.I.
Arti Halaqoh
Kata halaqah berasal dari bahasa arab yaitu halaqah atau halqah yang berarti lingkaran. Kalimat halqah min al-nas artinya kumpulan orang yang duduk.[1]
Halaqah sendiri dikenal dalam berbagai istilah, ada yang menyebutnya dengan usrah(keluarga), karena metode halaqah ini lebih bersifat kekeluargaan.
Ada pula yang menyebutnya dengan liqa’. Sedangkan dalam bahasa Jawa, halaqah ini lebih dikenal dengan wetonan atau bandongan.
Halaqah adalah sebuah istilah yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan atau pengajaran Islam (tarbiyah Islamiyah). Istilah halaqah(lingkaran) biasanya digunakan untuk menggambarkan sekelompok kecil Muslim yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta mereka dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan manhaj (kurikulum) tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari murabbi/naqib yang mendapatkannya dari jamaah (organisasi) yang menaungi halaqah tersebut. Di beberapa kalangan, halaqahdisebut juga mentoring, ta’lim, pengajian kelompok, tarbiyah atau sebutan lainnya.[2]
Menurut Hanun Asrohah halaqah adalah proses belajar mengajar yang dilaksanakan murid-murid dengan melingkari guru yang bersangkutan. Biasanya duduk dilantai serta berlangsung secara kontinu untuk mendengarkan seorang guru membacakan dan menerangkan kitab karangannya atau memberi komentar atas karya orang lain.[3]
Sedangkan menurut Hasbullah, metode halaqah atau wetonan adalah metode yang di dalamnya terdapat seorang kyai yang membaca kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.[4]
Tidak jauh berbeda, Haidar Putra Daulay dalam bukunya Sejarah Pertumbuhan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia menuturkan, wetonan atau bandonganadalah metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai. Kyai membacakan kitab yang dipelajari saat itu, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan.[5]
Halaqah merupakan kumpulan individu yang berkeinginan kuat untuk membentuk kepribadian muslim secara terpadu yang berlandaskan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Oleh karena itu peranan halaqah sangat penting dalam tujuan pembentukan kepribadian muslim, yang pelaksanaannya berlandaskan kepada contoh Nabi ` dalam membina para sahabatnya. Halaqah sebagai perisai pelindung bagi pesertanya dari pengaruh eksternal yang kotor. Masing-masing peserta terikat hubungan persaudaraan yang mendalam seperti keluarga. Halaqah juga merupakan kumpulan individu yang mempunyai kepentingan yang sama untuk meningkatkan iman dan amal saleh. [6]
Pendidikan melalui sistem halaqah ini mengembangkan program yang berkelanjutan sehingga memperoleh suatu interaksi dengan Islam secara intensif. Pematangan kejiwaan, pemikiran, akidah, dan pematangan perilaku merupakan kegiatan berkelanjutan. Pematangan secara berkelanjutan ini hanya dapat dilakukan dengan sarana halaqah.[7]
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa halaqah merupakan sekumpulan individu muslim yang bersungguh-sungguh dan berusaha untuk tolong menolong sesama anggota halaqah untuk mempelajari, memahami, dan mengamalkan Islam secara menyeluruh yang berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah `. Hal ini sejalan dengan firman Allah l dalam QS. Al-Maidah: 2,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
….dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Sejarah Halaqah
Ummu Hasnaa 3Halaqah sudah dimulai sejak awal Islam. Sebagaimana diketahui, Mekkah merupakan sentral agama bangsa Arab. Di sana ada peribadahan terhadap Kakbah dan penyembahan terhadap berhala dan patung-patung yang disucikan seluruh bangsa Arab. Cita-cita untuk memperbaiki keadaan bangsa Arab tentu bertambah sulit dan berat jika orang yang hendak mengadakan perbaikan jauh dari keadaan lingkungan bangsa Arab. Hal ini membutuhkan usaha yang keras maka, dalam menghadapi kondisi seperti itu, tindakan yang paling bijaksana adalah tidak terkejut karena tiba-tiba mnghadapi sesuatu yang menggusarkan bangsa Arab.[8]
Pada awal dakwah Islam di Mekkah, Rasulullah SAW menampakkan Islam kepada orang yang paling dekat dengannya, anggota keluarganya dan sahabat-sahabat karib Rasulullah SAW. Rasulullah mendakwahkan mereka dan juga siapa saja yang memang diketahui mencintai kebaikan, kebenaran, dan kejujuran beliau.
Rasulullah SAW menemui dan mengajarkan Islam kepada mereka secara sembunyi-sembunyi, hal ini dilakukan karena untuk menjaga keselamatan masing-masing. Rasulullah membuat pertemuan-pertemuan di rumah beberapa sahabat. Yang masyhur dalam proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam ini dilakukan di rumah al-Arqam. Di dalam majlis ini, terdiri dari beberapa orang sahabat. Rasulullah ` sendiri yang lebih banyak mendidik dan membentuk mereka agar memiliki kepribadian yang Islami. Melalui halaqah pertama ini terbentuklah sekelompok orang mukmin yang senantiasa bahu-membahu untuk untuk menegakkan kalimat Allah.
Pada periode dakwah di Madinah, halaqah pertama kali dilakukan di masjid. Nabi SAW melakukan tugas mendidik umat melalui halaqah di masjid yang menyatu dengan rumah beliau pada waktu-waktu yang dipilih. [9] Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا
Nabi SAW membuat sela-sela (lingkaran) dalam ceramah pada hari-hari tertentu demi menghindari kebosanan. (HR. Bukhari No.66)
Dalam halaqah, Nabi ` menyampaikan materi ilmu yang beragam. Namun yang paling diutamakan oleh Nabi adalah mengajarkan al-Qur`an.[10] M. Alawi al-Makki mengatakan:
Pada majelis-mejelis halaqah kenabian dipelajari ilmu-ilmu dasar beserta kaidah-kaidahnya, seperti berbagai macam fadhilah, wawasan pemikiran, akhlak, tradisi yang baik, dan faedah-faedahnya yang besar, yang merupakan sumber ilmu pengetahuan. Kami akan menuturkan sebagian dari apa yang dipelajari para sahabat pada halaqah agung yang mulia tersebut. Dan tidak diragukan lagi, sesungguhnya ilmu dasar terpenting di situ adalah al-Qur`an al-Karim.[11]
Pada zaman tabi’in, terdapat halaqah-halaqah ilmu di Madinah Munawwarah yang memakmurkan masjid Nabawi yang mulia. Di masjid itu para ulama yang langka dari para pembesar tabi’in berkumpul sebagaimana kumpulan gugusan bintang-bintang yang bersinar di jantung langit. Ada halaqah yang dipimpin ‘Urwah bin az-Zubair, ada halaqahyang dipimpin Said bin al-Musayyib, dan ada halaqah yang dipimpin Abdullah bin ‘Utbah.[12]
Menurut Satria Hari Lubis, dalam bukunya Menggairahkan Perjalanan Halaqah, halaqah berawal dari berdirinya jamaah Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928 M. di Mesir, Hasan al-Banna sangat prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang jauh dari nilai-nilai Islam. Al-Banna berusaha keras mengembalikan umat kepada agamanya. Dari pengamatannya yang mendalam, al-Banna pun sampai pada satu kesimpulan bahwa hal ini disebabkan kaum muslimin tidak terdidik secara Islami. Lalu al-Banna pun mengenalkan sistem pendidikan alternatif yang harus dilakukan oleh anggota jamaahnya. Sistem tersebut disebut dengan sistem usrah. Anggota jamaah dibagi dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan tingkat pemahamannya terhadap Islam.[13]
Dengan dibimbing oleh seorang naqib, para anggota Ikhwanul Muslimin saat itu secara serius mempelajari Islam yang berorientasi pada pengamalan Islam. hasilnya, jamaah Ikhwanul Muslimin saat itu dikenal oleh kawan dan lawannya sebagai j metode halaqah bagi pendidikan akhlak Islami ummahat amaah yang anggotanya sangat konsisten menegakkan Islam di dalam diri dan masyarakat. Sepeninggal Hasan al-Banna, sistem usrah dilanjutkan oleh para pengikutnya. Sistem ini akhirnya menyebar dengan berbagai modifikasinya ke berbagai gerakan Islam lainnya.[14]
Di Nusantara, sistem halaqah ini dikategorikan dalam sistem pembelajaran tradisional. Sistem halaqah ini sudah mulai diterapkan sejak masuknya Islam di Nusantara. Pada awalnya diterapkan di masjid-masjid, surau, dan langgar-langgar yang merupakan cikal bakal lahirnya pesantren. Seiring perkembangan zaman, pesantren juga ikut mengalami perkembangan, berupa lahirnya berbagai inovasi baru dalam dunia pendidikan pesantren. Tapi ada hal yang merupakan ciri khas yang tidak bisa lepas yaitu penerapan sistem halaqah dalam pembelajaran di pesantren, meskipun sudah ada sistem pembelajaran klasik atau madrasah.[15]
Kini fenomena halaqah/usrah menjadi umum dijumpai di lingkungan kaum muslimin di mana pun mereka berada. Walaupun mungkin dengan nama yang berbeda-beda. Penyebaran halaqah/usrah yang pesat tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan halaqah/usrah dalam mendidik pesertanya menjadi mukmin yang bertakwa kepada Allah . Saat ini halaqah/usrah menjadi sebuah alternatif pendidikan keislaman yang masif dan merakyat. Di dalam halaqah tidak lagi melihat latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, atau budaya pesertanya. Bahkan tanpa melihat apakah seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama Islam atau tidak. Halaqah/usrah telah menjadi sebuah wadah pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) yang semakin inklusif saat ini.[16]
Kamis, 26 Oktober 2017
Makna Kun Fayakun
Bukankah Tuhan itu apabila menghendaki maka segala sesuatunya akan terwujud? Bukankah apabila Tuhan berkata kun (jadilah) fayakun (maka jadilah)? Lantas mengapa langit dan bumi diciptakan dalam waktu enam atau tujuh hari? Bukankah hal ini berseberangan dengan kudrat dan kekuasaan Tuhan?
Kekuasaan tidak terbatas dan apa yang didefinisikan tentang kudrat dan kekuasaan Tuhan bermakna bahwa apabila Dia menghendaki melakukan sesuatu maka Dia akan melakukannya dan apabila enggan melakukan sesuatu maka Dia tidak akan mengerjakannya. Tiada satu pun yang keluar dan berada di luar wilayah kekuasaan Allah Swt di alam semesta ini.
Adapun bahwa alam semesta diciptakan dalam waktu enam hari atau dengan ungkapan yang lebih tepat dalam enam tingkatan pada hakikatnya tidak berseberangan dengan kekuasaan dan kudrat Allah Swt; karena dengan melewati enam tingkatan ini bagi penciptaan alam semesta tidak bermakna bahwa Allah Swt tidak berkuasa menciptakannya dalam satu waktu; artinya penciptaan seketika alam semesta oleh Tuhan bukanlah suatu hal yang mustahil. Mengingat bahwa mekanisme yang berlaku di alam semesta adalah mekanisme sebab akibat dan berada di bawah aturan hukum kausalitas dan Tuhan tidak ingin melakukan sesuatu kecuali dengan sebab-sebabnya, maka, dengan beberapa alasan yang tidak kita ketahui secara pasti, alam semesta diciptakan dalam waktu enam hari. Namun yang pasti penciptaan gradual ini sepenuhnya disebabkan oleh tipologi yang dimiliki alam semesta bukan karena kekuasaan dan kudrat Allah Swt.
“Huwalladzi khalaqa al-samawat wa al-ardh fi sittati ayyamin.”
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari.” (Qs. Hud [11]:7)
Pertama-tama yang dimaksud dengan hari bukanlah satuan waktu dua puluh jam yang kita lalui sehari-hari. Karena pada waktu itu bumi dan matahari belum lagi diciptakan sehingga bumi mengelilingi dirinya di hadapan cahaya matahari sehingga kita menyebut rotasi tersebut sebagai sehari. Hari dalam ayat yang dimaksud merupakan ungkapan tentang masa dan tingkatan dan penggalan waktu dari zaman. Apa yang dijelaskan ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat bahwa bumi diciptakan dalam enam tingkatan dan terkait dengan hal-hal detilnya pada setiap tingkatan dan bagaimana proses terjadinya tidak ada yang dapat kita pahami dari firman Allah Swt. Yang paling maksimal yang dapat kita petik dari ayat-ayat al-Qur’an adalah pertama bahwa penciptan langit dan bumi tidaklah berbentuk dan seperti kondisi yang sekarang ini kita saksikan. Keberadaannya tidak bersifat mendadak dan muncul dari ketiadaan, melainkan diciptakan dari sesuatu yang lain dimana sesuatu tersebut sebelumnya telah ada dan hal itu adalah sebuah materi yang mirip bagian-bagian dan bertumpuk-tumpuk satu dengan yang lain kemudian Allah Swt membagi-bagi materi padat ini, dan bagian-bagian tersebut dipisahkan dari yang lain. Dari satu bagiannya, dalam dua penggalan waktu bumi dibuat dan kemudian menciptakan langit yang kala itu masih berupa asap (dukhan),[1] bagian-bagian tersebut juga dipisah-pisahkan dan pada dua penggalan waktu kemudian berbentuk tujuh petala langit.
Yang lainnya bahwa seluruh entitas dan makhluk hidup yang kita saksikan diciptakan dari air, karena itu materi air (tentu saja air ini bukan air yang kita sehari-hari konsumsi) merupakan materi kehidupan setiap makhluk hidup. Dengan penjelasan di atas menjadi jelas ayat yang menjadi obyek bahasan, oleh itu, al-Qur’an menyatakan, “Huwalladzi khalaqa al-samawat wa al-ardh fi sittati ayyamin” (Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari) yang dimaksud dengan menciptakan langit dan bumi pada ayat ini adalah mengumpulkan bagian-bagian kemudian memisahkannya dengan materi-materi lain yang mirip satu dengan yang lain kemudian memadatkannya satu dengan yang lain.[2]
Hingga kini makna penciptaan alam semesta yang terjadi selama enam hari menjadi jelas. Sekarang tiba gilirannya kita membedah makna kun (jadilah) fayakun (maka jadilah ia) bahwa pada hakikatnya apa sih makna huruf ini? Al-Qur’an menyatakan, “Innama amruhu idza arada syaian an yaqula lahu kun fayakun.” (Sesungguhnya urusannya-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah ia,” Qs. Yasin [36]:82).
Ayat mulia ini merupakan salah satu ayat unggul al-Qur’an yang mendeskripsikan kalimat pengadaan dan penjadian dan menyatakan, “Allah Swt dalam menjadikan dan mengadakan segala sesuatu yang kejadiannya dikehendaki, tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain kecuali kepada Zat-Nya sendiri, bukan bahwa sebab tersebut secara mandiri menjadikan sesuatu juga bukan membantu Tuhan dalam penjadiannya, atau menyingkirkan penghalang terealisirnya kehendak Tuhan.
Yang dimaksud dengan redaksi “amr” pada ayat yang menjadi obyek bahasan adalah “sya’n” (urusan, kedudukan) artinya ayat tersebut ingin menandaskan, “Urusan (kedudukan) Tuhan tatkala menghendaki penciptaan satu makhluk dari seluruh makhluk adalah demikian, bukan bermaksud amr (perintah) sebagai lawan nahi (larangan). Tatkala Tuhan ingin menciptakan satu entitas (makhluk) maka Dia menggunakan kalimat “amr.” Karena itu, makna kalimat “idzâ aradâ” adalah bahwa tatkala segala sesuatu berada dalam obyek kehendak Tuhan, maka sya’n (kedudukan atau urusan) Tuhan adalah berkata kepada sesuatu tersebut untuk menjadi (kun) dan maka jadilah ia (fayakun). Namun yang menjadi titik tekan di sini bukan lafaz “kun” melainkan kehendak (iradah) Tuhan. Demikian juga dalam kondisi ini obyek bicara Tuhan juga bukanlah obyek yang memiliki indra pendengaran dan mendengarkan pembicaraan dengan dua telinganya kemudian mengada, lantaran apabila obyek bicara sudah mewujud (sebelumnya) maka tidak perlu lagi diwujudkan. Karena itu, ayat yang menjadi obyek bahasan merupakan sebuah firman yang mengandung analogi dan karena Zat Allah Swt apabila mengendaki wujudnya segala sesuatu maka tanpa ada jeda dan selisih akan segera mewujud.[3]
Dari satu sisi juga, apa yang dianugerahkan dari sisi Allah Swt, tidak memerlukan waktu dan jeda, juga tidak menerima adanya perubahan dan pergantian, demikian juga tidak bersifat gradual. Apa pun yang kita saksikan secara gradual, memerlukan waktu dan jeda pada seluruh entitas dan makhluk sejatinya bersumber dari entitas itu sendiri dan bukan berasal dari sisi Allah Swt.
Shafwan bin Yahya berkata, aku berkata kepada Hadhrat Abi al-Hasan As: Tolong Anda jelaskan tentang kehendak Tuhan dan penciptaan-Nya. Beliau berkata, “Kehendak pada kita makhluk bermakna keinginan batin dan intrinsik yang sebagai ikutannya muncullah perbuatan dari kita. Namun kehendak Allah Swt bermakna pengadaan dan penjadian perbuatan bukan selainnya, karena Allah Swt tidak perlu berpikir dan merenung sebelumnya. Dia tidak seperti kita yang memerlukan keputusan sebelum setiap pekerjaan dilakukan dan kemudian memikirkan bagaimana merealisasikannya. Sifat seperti ini tidak terdapat pada Allah Swt dan merupakan salah satu tipologi makhluk.
Oleh itu, kehendak Tuhan adalah perbuatan itu sendiri bukan yang lain. Dia berkata kepada perbuatan tersebut, “Jadilah (Kun) maka perbuatan itu akan menjadi (fayakun). Adapun kita berkata, “Berkata kepadanya” (an yaqula) bukan perkataan dengan ekspresi dan bahasa, bukan juga keputusan dan produk pikiran, sebagaimana Dia tidak memiliki kualitas, perbuatan-Nya juga tidak memiliki kualitas.[4]
Karena itu, apabila kita berkata bahwa Allah Swt menciptakan alam semesta dalam enam hari maka pertama-tama hal itu tidak bermakna bahwa penciptaan tersebut secara gradual terjadi dari sisi Allah Swt dan perbuatan-Nya adalah bersifat gradual dan sebagai kesimpulannya karena Allah Swt tidak mampu menciptakannya dalam satu waktu maka kekuasaannya terbatas dan untuk menciptakan Dia memerlukan terlewatinya waktu. Sifat gradual ini sejatinya bersumber dari makhluk yang dalam ini adalah alam semesta dan bukan bersumber dari Allah Swt. Karena sebagaimana yang telah dijelaskan kapan saja Allah Swt menghendaki wujudnya sesuatu maka segera ia akan mewujud (fayakun). Apa yang Anda nyatakan bahwa hal ini berasal dari sisi Tuhan, sama sekali tidak bermasalah. Benar bahwa Tuhan mampu menciptakan alam semesta dalam satu waktu namun mengingat alam materi mengikut mekanisme sebab akibat dan tunduk di bawah aturan hukum kausalitas dan Allah Swt enggan melakukan sesuatu kecuali dengan sebab-sebabnya[5] atas alasan itulah berdasarkan kemasalahatan-kemasalahatan yang juga kita tidak ketahui secara persis alam semesta diciptakan dalam enam tingkatan, boleh jadi pada setiap tingkatan bergantung pada tingkatan-tingkatan sebelumnya atau dalil-dalil lainnya... namun apa yang penting di sini adalah Tuhan mahakuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang memiliki kemungkinan eksistensial untuk mewujud.[6] [IQuest]
Kekuasaan tidak terbatas dan apa yang didefinisikan tentang kudrat dan kekuasaan Tuhan bermakna bahwa apabila Dia menghendaki melakukan sesuatu maka Dia akan melakukannya dan apabila enggan melakukan sesuatu maka Dia tidak akan mengerjakannya. Tiada satu pun yang keluar dan berada di luar wilayah kekuasaan Allah Swt di alam semesta ini.
Adapun bahwa alam semesta diciptakan dalam waktu enam hari atau dengan ungkapan yang lebih tepat dalam enam tingkatan pada hakikatnya tidak berseberangan dengan kekuasaan dan kudrat Allah Swt; karena dengan melewati enam tingkatan ini bagi penciptaan alam semesta tidak bermakna bahwa Allah Swt tidak berkuasa menciptakannya dalam satu waktu; artinya penciptaan seketika alam semesta oleh Tuhan bukanlah suatu hal yang mustahil. Mengingat bahwa mekanisme yang berlaku di alam semesta adalah mekanisme sebab akibat dan berada di bawah aturan hukum kausalitas dan Tuhan tidak ingin melakukan sesuatu kecuali dengan sebab-sebabnya, maka, dengan beberapa alasan yang tidak kita ketahui secara pasti, alam semesta diciptakan dalam waktu enam hari. Namun yang pasti penciptaan gradual ini sepenuhnya disebabkan oleh tipologi yang dimiliki alam semesta bukan karena kekuasaan dan kudrat Allah Swt.
“Huwalladzi khalaqa al-samawat wa al-ardh fi sittati ayyamin.”
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari.” (Qs. Hud [11]:7)
Pertama-tama yang dimaksud dengan hari bukanlah satuan waktu dua puluh jam yang kita lalui sehari-hari. Karena pada waktu itu bumi dan matahari belum lagi diciptakan sehingga bumi mengelilingi dirinya di hadapan cahaya matahari sehingga kita menyebut rotasi tersebut sebagai sehari. Hari dalam ayat yang dimaksud merupakan ungkapan tentang masa dan tingkatan dan penggalan waktu dari zaman. Apa yang dijelaskan ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat bahwa bumi diciptakan dalam enam tingkatan dan terkait dengan hal-hal detilnya pada setiap tingkatan dan bagaimana proses terjadinya tidak ada yang dapat kita pahami dari firman Allah Swt. Yang paling maksimal yang dapat kita petik dari ayat-ayat al-Qur’an adalah pertama bahwa penciptan langit dan bumi tidaklah berbentuk dan seperti kondisi yang sekarang ini kita saksikan. Keberadaannya tidak bersifat mendadak dan muncul dari ketiadaan, melainkan diciptakan dari sesuatu yang lain dimana sesuatu tersebut sebelumnya telah ada dan hal itu adalah sebuah materi yang mirip bagian-bagian dan bertumpuk-tumpuk satu dengan yang lain kemudian Allah Swt membagi-bagi materi padat ini, dan bagian-bagian tersebut dipisahkan dari yang lain. Dari satu bagiannya, dalam dua penggalan waktu bumi dibuat dan kemudian menciptakan langit yang kala itu masih berupa asap (dukhan),[1] bagian-bagian tersebut juga dipisah-pisahkan dan pada dua penggalan waktu kemudian berbentuk tujuh petala langit.
Yang lainnya bahwa seluruh entitas dan makhluk hidup yang kita saksikan diciptakan dari air, karena itu materi air (tentu saja air ini bukan air yang kita sehari-hari konsumsi) merupakan materi kehidupan setiap makhluk hidup. Dengan penjelasan di atas menjadi jelas ayat yang menjadi obyek bahasan, oleh itu, al-Qur’an menyatakan, “Huwalladzi khalaqa al-samawat wa al-ardh fi sittati ayyamin” (Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari) yang dimaksud dengan menciptakan langit dan bumi pada ayat ini adalah mengumpulkan bagian-bagian kemudian memisahkannya dengan materi-materi lain yang mirip satu dengan yang lain kemudian memadatkannya satu dengan yang lain.[2]
Hingga kini makna penciptaan alam semesta yang terjadi selama enam hari menjadi jelas. Sekarang tiba gilirannya kita membedah makna kun (jadilah) fayakun (maka jadilah ia) bahwa pada hakikatnya apa sih makna huruf ini? Al-Qur’an menyatakan, “Innama amruhu idza arada syaian an yaqula lahu kun fayakun.” (Sesungguhnya urusannya-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah ia,” Qs. Yasin [36]:82).
Ayat mulia ini merupakan salah satu ayat unggul al-Qur’an yang mendeskripsikan kalimat pengadaan dan penjadian dan menyatakan, “Allah Swt dalam menjadikan dan mengadakan segala sesuatu yang kejadiannya dikehendaki, tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain kecuali kepada Zat-Nya sendiri, bukan bahwa sebab tersebut secara mandiri menjadikan sesuatu juga bukan membantu Tuhan dalam penjadiannya, atau menyingkirkan penghalang terealisirnya kehendak Tuhan.
Yang dimaksud dengan redaksi “amr” pada ayat yang menjadi obyek bahasan adalah “sya’n” (urusan, kedudukan) artinya ayat tersebut ingin menandaskan, “Urusan (kedudukan) Tuhan tatkala menghendaki penciptaan satu makhluk dari seluruh makhluk adalah demikian, bukan bermaksud amr (perintah) sebagai lawan nahi (larangan). Tatkala Tuhan ingin menciptakan satu entitas (makhluk) maka Dia menggunakan kalimat “amr.” Karena itu, makna kalimat “idzâ aradâ” adalah bahwa tatkala segala sesuatu berada dalam obyek kehendak Tuhan, maka sya’n (kedudukan atau urusan) Tuhan adalah berkata kepada sesuatu tersebut untuk menjadi (kun) dan maka jadilah ia (fayakun). Namun yang menjadi titik tekan di sini bukan lafaz “kun” melainkan kehendak (iradah) Tuhan. Demikian juga dalam kondisi ini obyek bicara Tuhan juga bukanlah obyek yang memiliki indra pendengaran dan mendengarkan pembicaraan dengan dua telinganya kemudian mengada, lantaran apabila obyek bicara sudah mewujud (sebelumnya) maka tidak perlu lagi diwujudkan. Karena itu, ayat yang menjadi obyek bahasan merupakan sebuah firman yang mengandung analogi dan karena Zat Allah Swt apabila mengendaki wujudnya segala sesuatu maka tanpa ada jeda dan selisih akan segera mewujud.[3]
Dari satu sisi juga, apa yang dianugerahkan dari sisi Allah Swt, tidak memerlukan waktu dan jeda, juga tidak menerima adanya perubahan dan pergantian, demikian juga tidak bersifat gradual. Apa pun yang kita saksikan secara gradual, memerlukan waktu dan jeda pada seluruh entitas dan makhluk sejatinya bersumber dari entitas itu sendiri dan bukan berasal dari sisi Allah Swt.
Shafwan bin Yahya berkata, aku berkata kepada Hadhrat Abi al-Hasan As: Tolong Anda jelaskan tentang kehendak Tuhan dan penciptaan-Nya. Beliau berkata, “Kehendak pada kita makhluk bermakna keinginan batin dan intrinsik yang sebagai ikutannya muncullah perbuatan dari kita. Namun kehendak Allah Swt bermakna pengadaan dan penjadian perbuatan bukan selainnya, karena Allah Swt tidak perlu berpikir dan merenung sebelumnya. Dia tidak seperti kita yang memerlukan keputusan sebelum setiap pekerjaan dilakukan dan kemudian memikirkan bagaimana merealisasikannya. Sifat seperti ini tidak terdapat pada Allah Swt dan merupakan salah satu tipologi makhluk.
Oleh itu, kehendak Tuhan adalah perbuatan itu sendiri bukan yang lain. Dia berkata kepada perbuatan tersebut, “Jadilah (Kun) maka perbuatan itu akan menjadi (fayakun). Adapun kita berkata, “Berkata kepadanya” (an yaqula) bukan perkataan dengan ekspresi dan bahasa, bukan juga keputusan dan produk pikiran, sebagaimana Dia tidak memiliki kualitas, perbuatan-Nya juga tidak memiliki kualitas.[4]
Karena itu, apabila kita berkata bahwa Allah Swt menciptakan alam semesta dalam enam hari maka pertama-tama hal itu tidak bermakna bahwa penciptaan tersebut secara gradual terjadi dari sisi Allah Swt dan perbuatan-Nya adalah bersifat gradual dan sebagai kesimpulannya karena Allah Swt tidak mampu menciptakannya dalam satu waktu maka kekuasaannya terbatas dan untuk menciptakan Dia memerlukan terlewatinya waktu. Sifat gradual ini sejatinya bersumber dari makhluk yang dalam ini adalah alam semesta dan bukan bersumber dari Allah Swt. Karena sebagaimana yang telah dijelaskan kapan saja Allah Swt menghendaki wujudnya sesuatu maka segera ia akan mewujud (fayakun). Apa yang Anda nyatakan bahwa hal ini berasal dari sisi Tuhan, sama sekali tidak bermasalah. Benar bahwa Tuhan mampu menciptakan alam semesta dalam satu waktu namun mengingat alam materi mengikut mekanisme sebab akibat dan tunduk di bawah aturan hukum kausalitas dan Allah Swt enggan melakukan sesuatu kecuali dengan sebab-sebabnya[5] atas alasan itulah berdasarkan kemasalahatan-kemasalahatan yang juga kita tidak ketahui secara persis alam semesta diciptakan dalam enam tingkatan, boleh jadi pada setiap tingkatan bergantung pada tingkatan-tingkatan sebelumnya atau dalil-dalil lainnya... namun apa yang penting di sini adalah Tuhan mahakuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang memiliki kemungkinan eksistensial untuk mewujud.[6] [IQuest]
Selasa, 24 Oktober 2017
Uhibbuki Ya Ummi
Ummi, sebenarnya tak harus menunggu hari ibu untuk kami bisa mengungkapkan cinta..
Duhai Mama, Ibu, Bunda, Ummi apapun namamu kami sebut,
Adalah panggilan rindu kami akan belai cintamu
Cintamu bukan cahaya matahari meskipun sama-sama tak harap balas,
Karena cintamu tak terasa panas menyengat kulit kami.
Cintamu bukan embun pagi meskipun sama-sama indah bening dan lembut,
Karena cintamu tegar dan kuat membuat kami nyaman di pelukmu
Allah Rabb kami telah menitipkan diri ini padamu
Dan tubuh kecil kami datang merepotkanmu, membuatmu lelah
Membuat istirahat malammu tidak nyenyak..
Dan hanya sesekali membuatmu menangis haru bahagia
Kami memohon maaf padamu Mama, Bunda, Ummiku..
Yang surga ada di telapak kakimu
Yang menurut Sabda Rasulullah, dirimu adalah pintu tengah surga yang dimudahkan
Maafkanlah khilaf kami, keluh kesah kami padamu
tak setianya cinta kami padamu
Tak sempurnanya kami menemani harimu
Tak adanya pundak kami disampingmu
Dan untuk rasa terimakasih yang kadang kami lupa ucapkan
Terimakasih untuk Ummi yang telah menjadi jalan kasih sayang Allah,
Untuk Mama yang telah menjadi jalan kami mengenal Allah pencipta kami
Hingga kami pun berdoa kepadaNya untuk mu mama.
Ya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang..
Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
Ya Allah sayangilah Mama,
Kaffahkanlah Islamnya,
Kuatkan imannya, luruskan akidahnya
Jadikanlah di hatinya hanya ada Engkau ya Allah
Mencukupkan hanya diriMu tempatnya mengadu
hapus air matanya saat ia bersedih
Sembuhkanlah ia saat ia sakit,
tegarkan hatinya saat mulai lemah
berikanlah ia SurgaMu ya Rabb, jauhkanlah ia dari api nerakamu, dan kumpulkanlah kami di dalam surgaMu
amiin ya Rabb.
Kami titip Bunda kami pada penjagaan yang sempurna dariMu..
Mama, Bunda, Ummi apapun kami sebut untuk menyatakan kerinduan belai cintamu,
Kami ingin mengucapkan Ana uhibbuki fillah (aku mencintaimu karena Allah), dan Moga Bunda di sayang Allah.
Duhai Mama, Ibu, Bunda, Ummi apapun namamu kami sebut,
Adalah panggilan rindu kami akan belai cintamu
Cintamu bukan cahaya matahari meskipun sama-sama tak harap balas,
Karena cintamu tak terasa panas menyengat kulit kami.
Cintamu bukan embun pagi meskipun sama-sama indah bening dan lembut,
Karena cintamu tegar dan kuat membuat kami nyaman di pelukmu
Allah Rabb kami telah menitipkan diri ini padamu
Dan tubuh kecil kami datang merepotkanmu, membuatmu lelah
Membuat istirahat malammu tidak nyenyak..
Dan hanya sesekali membuatmu menangis haru bahagia
Kami memohon maaf padamu Mama, Bunda, Ummiku..
Yang surga ada di telapak kakimu
Yang menurut Sabda Rasulullah, dirimu adalah pintu tengah surga yang dimudahkan
Maafkanlah khilaf kami, keluh kesah kami padamu
tak setianya cinta kami padamu
Tak sempurnanya kami menemani harimu
Tak adanya pundak kami disampingmu
Dan untuk rasa terimakasih yang kadang kami lupa ucapkan
Terimakasih untuk Ummi yang telah menjadi jalan kasih sayang Allah,
Untuk Mama yang telah menjadi jalan kami mengenal Allah pencipta kami
Hingga kami pun berdoa kepadaNya untuk mu mama.
Ya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang..
Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
Ya Allah sayangilah Mama,
Kaffahkanlah Islamnya,
Kuatkan imannya, luruskan akidahnya
Jadikanlah di hatinya hanya ada Engkau ya Allah
Mencukupkan hanya diriMu tempatnya mengadu
hapus air matanya saat ia bersedih
Sembuhkanlah ia saat ia sakit,
tegarkan hatinya saat mulai lemah
berikanlah ia SurgaMu ya Rabb, jauhkanlah ia dari api nerakamu, dan kumpulkanlah kami di dalam surgaMu
amiin ya Rabb.
Kami titip Bunda kami pada penjagaan yang sempurna dariMu..
Mama, Bunda, Ummi apapun kami sebut untuk menyatakan kerinduan belai cintamu,
Kami ingin mengucapkan Ana uhibbuki fillah (aku mencintaimu karena Allah), dan Moga Bunda di sayang Allah.
Jumat, 20 Oktober 2017
Arti Ana / Inni Uhibbuka / Uhibbuki Fillah
إني أحبك في الله
Inni uhibbuka fillah atau Inni uhibbuki fillah. Apa arti dari kata-kata tersebut.
Inni uhibbuka fillah: sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah (diucapkan kepada ikhwan)
Inni uhibbuki fillah: sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah (diucapkan kepada akhwat)
Ana uhibbuka fillah artinya aku mencintaimu karena Allah. Dhommir (kata ganti) ‘ka’ untuk kamu laki-laki, sedangkan ‘ki’ untuk kamu perempuan.
(Semoga Allah mencintaimu, Dzat yang telah menjadikanmu mencintai aku karena-Nya).
Doa Balasan Uhibbuka/Uhibbuki Fillah – إني أحبك في الله
Jawaban atau balasan untuk saudaramu yang mengucapkan inni uhibbuka fillah ( إني أحبك في الله )
أَحَبَّكَ الَّذِيْ أَحْبَبْتَنِي لَهُ
“Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu yang telah mencintaiku karena-Nya)[1]
HR. Abu Dawud. Al-Albani menyatakan, hadits tersebut hasan dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
Keterangan:
Arti:
إِنِّ أُحِبُّكَ فِي اللهِ
“Sesungguhnya aku cinta kepadamu karena Allah”
Sumber:
Hisnul Muslim oleh Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani
Inni Uhibbuka Fillah
Salah satu perintah dalam Islam adalah menyatakan cinta karena Allah. Namun tentu saja cinta bukan dinyatakan pada lawan jenis yang tidak halal karena adanya godaan besar di balik itu.
Ini hanya berlaku untuk sesama jenis, laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan selama aman dari fitnah dan tidak menimbulkan persangkaan yang tidak-tidak di hati keduanya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (247/1), beliau berkata: “Apabila seorang wanita memiliki perasaan cinta (baca: simpati) kepada wanita lain maka hendaknya dia beritahukan kepadanya”.
Maka tidak diperbolehkan seorang laki-laki mengatakan “Aku mencintaimu karena Allah” kepada seorang wanita kecuali jika wanita tersebut adalah istrinya atau mahram-nya yang lain. Dan tidak pernah kita jumpai satupun dari para sahabiyah Nabi yang mengatakan ungkapan tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padahal Allah telah menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai sebuah kewajiban atas orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian juga, tidak pernah kita jumpai riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم pernah mengatakan ungkapan tersebut kepada salah seorang dari mereka.
Adapun hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata:
أن رجلاً كان عند النبي صلى الله عليه وسلم فمر به رجل فقال: يا رسول الله إني لأحب هذا، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أعلمته؟ قال: لا، قال: أعلمه، قال: فلحقه فقال: إني أحبك في الله، فقال: أحبك الذي أحببتني له
Bahwasanya ada seorang sahabat yang sedang berada di sisi Nabi shāllallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, kemudian seseorang lewat di hadapan mereka. Lantas sahabat ini mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar mencintai orang ini”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya: “Apakah engkau telah memberitahukan rasa cintamu kepadanya?” Ia berkata: “Belum.” Beliau berkata: “Jika demikian, pergilah dan beritahukan kepadanya”. Maka ia langsung menemui orang itu dan mengatakan “Inni uhibbuka fillah” (sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah), lalu orang tersebut menjawab: “Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu, Dzat yang telah menjadikanmu mencintai aku karena-Nya).
Hadist ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dan Abu Dawud dalam Sunan-nya. Hadist ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam. Dalam riwayat Ath-Thabrani terdapat tambahan: “kemudian sahabat ini kembali menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan jawaban orang tersebut kepada beliau. Mendengar cerita sahabat ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “engkau akan bersama dengan orang yang kau cintai dan untukmu pahala atas apa yang kau harapkan dari rasa cintamu itu”. Hadist ini dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mustadrak (189/4).
Dari Habib bin ‘Ubaid, dari Miqdam ibnu Ma’dy Kariba –dan Habib menjumpai Miqdam ibnu Ma’di Kariba-, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ أَنَّهُ أَحَبَّهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya hendaklah dia memberitahu saudaranya itu bahwa dia mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 421/542, shahih kata Syaikh Al Albani)
Dari Mujahid berkata,
لقيني رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فأخذ بمنكبي من ورائي. قال: أما إني أحبّك. قال : أحبك الله الذي أحببتني له. فقال : لولا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا أحب الرجل الرجل فليخبره أنه أحبه. ما أخبرتك. قال: ثم أخذ يعرض علي الخطبة. قال: أما إن عندنا جارية، أما إنها عوراء
“Ada salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu denganku lalu ia memegang pundakku dari belakang dan berkata,
أما إني أحبّك
“Sungguh saya mencintaimu.”
Dia lalu berkata,
أحبك الله الذي أحببتني له
“Semoga Allah yang mencintaimu yang telah membuatmu mencintaiku karena-Nya.”
Dia berkata, “Kalau sekiranya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Jika seorang pria mencintai saudaranya hendaklah dia memberi tahu bahwa dia mencintainya“, maka tentulah ucapanku tadi tidak kuberitahukan kepadamu.” Dia lalu menyodorkan sebuah lamaran kepadaku sambil berkata,
“Kami memiliki seorang budak perempuan dia buta sebelah matanya (silakan engkau mengambilnya).”
(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod 422/543. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Inilah ajaran Islam yang mengajarkan untuk saling mencintai. Ketika kita mencintai saudara kita karena Allah, maka ungkapkanlah cinta tersebut dengan mengatakan, “Inni uhibbuk” atau “Inni uhibbuk fillah”. Lalu ketika saudaranya mendengar, maka balaslah dengan mengucapkan “ahabbakallahu alladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah yang membuatmu mencintaiku turut mencintaimu). Dan ini menunjukkan hendaknya cinta dan benci pada orang lain dibangun karena Allah, bukan karena maksud dunia semata.
Ibnu ‘Abbas berkata,
من أحب في الله، وأبغض في الله، ووالى في الله، وعادى في الله، فإنما تنال ولاية الله بذلك، ولن يجد عبد طعم الإيمان وإن كثرت صلاته وصومه حتى يكون كذلك. وقد صارت عامة مؤاخاة الناس على أمر الدنيا، وذلك لا يجدي على أهله شيئا.
“Siapa yang mencintai dan benci karena Allah, berteman dan memusuhi karena Allah, sesungguhnya pertolongan Allah itu diperoleh dengan demikian itu. Seorang hamba tidak akan bisa merasakan kenikmatan iman walaupun banyak melakukan shalat dan puasa sampai dirinya berbuat demikian itu. Sungguh, kebanyakan persahabatan seseorang itu hanya dilandaskan karena kepentingan dunia. Persahabat seperti itu tidaklah bermanfaat bagi mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir disebutkan dalam Kitab Tauhid Syaikh Muhammad At Tamimi)
Al Hasan Al Bashri berkata,
إنَّ أحبَّ عبادِ الله إلى الله الذين يُحببون الله إلى عباده ويُحببون عباد الله إلى الله ، ويسعون في الأرض بالنصيحة
“Sesungguhnya hamba yang dicintai di sisi Allah adalah yang mencintai Allah lewat hamba-Nya dan mencintai hamba Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasehat pada orang lain.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 224).
Semoga kita bisa saling mencintai karena Allah dan mendapatkan pertolongan-Nya.
Semoga Allah senantiasa menjaga agama kita dan menganugerahkan kepada kita petunjuk. Hanya kepada-Nya lah kita meminta. Aamiin.
Sumber:
http://rumaysho.com/akhlaq/aku-mencintaimu-karena-allah-6319
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/hukum-ucapan-aku-mencintaimu-karena-allah-kepada-lawan-jenis-yang-bukan-mahram.html
Inni uhibbuka fillah atau Inni uhibbuki fillah. Apa arti dari kata-kata tersebut.
Inni uhibbuka fillah: sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah (diucapkan kepada ikhwan)
Inni uhibbuki fillah: sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah (diucapkan kepada akhwat)
Ana uhibbuka fillah artinya aku mencintaimu karena Allah. Dhommir (kata ganti) ‘ka’ untuk kamu laki-laki, sedangkan ‘ki’ untuk kamu perempuan.
(Semoga Allah mencintaimu, Dzat yang telah menjadikanmu mencintai aku karena-Nya).
Doa Balasan Uhibbuka/Uhibbuki Fillah – إني أحبك في الله
Jawaban atau balasan untuk saudaramu yang mengucapkan inni uhibbuka fillah ( إني أحبك في الله )
أَحَبَّكَ الَّذِيْ أَحْبَبْتَنِي لَهُ
“Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu yang telah mencintaiku karena-Nya)[1]
HR. Abu Dawud. Al-Albani menyatakan, hadits tersebut hasan dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
Keterangan:
Arti:
إِنِّ أُحِبُّكَ فِي اللهِ
“Sesungguhnya aku cinta kepadamu karena Allah”
Sumber:
Hisnul Muslim oleh Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani
Inni Uhibbuka Fillah
Salah satu perintah dalam Islam adalah menyatakan cinta karena Allah. Namun tentu saja cinta bukan dinyatakan pada lawan jenis yang tidak halal karena adanya godaan besar di balik itu.
Ini hanya berlaku untuk sesama jenis, laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan selama aman dari fitnah dan tidak menimbulkan persangkaan yang tidak-tidak di hati keduanya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (247/1), beliau berkata: “Apabila seorang wanita memiliki perasaan cinta (baca: simpati) kepada wanita lain maka hendaknya dia beritahukan kepadanya”.
Maka tidak diperbolehkan seorang laki-laki mengatakan “Aku mencintaimu karena Allah” kepada seorang wanita kecuali jika wanita tersebut adalah istrinya atau mahram-nya yang lain. Dan tidak pernah kita jumpai satupun dari para sahabiyah Nabi yang mengatakan ungkapan tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padahal Allah telah menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai sebuah kewajiban atas orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian juga, tidak pernah kita jumpai riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم pernah mengatakan ungkapan tersebut kepada salah seorang dari mereka.
Adapun hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata:
أن رجلاً كان عند النبي صلى الله عليه وسلم فمر به رجل فقال: يا رسول الله إني لأحب هذا، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أعلمته؟ قال: لا، قال: أعلمه، قال: فلحقه فقال: إني أحبك في الله، فقال: أحبك الذي أحببتني له
Bahwasanya ada seorang sahabat yang sedang berada di sisi Nabi shāllallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, kemudian seseorang lewat di hadapan mereka. Lantas sahabat ini mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar mencintai orang ini”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya: “Apakah engkau telah memberitahukan rasa cintamu kepadanya?” Ia berkata: “Belum.” Beliau berkata: “Jika demikian, pergilah dan beritahukan kepadanya”. Maka ia langsung menemui orang itu dan mengatakan “Inni uhibbuka fillah” (sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah), lalu orang tersebut menjawab: “Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu, Dzat yang telah menjadikanmu mencintai aku karena-Nya).
Hadist ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dan Abu Dawud dalam Sunan-nya. Hadist ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam. Dalam riwayat Ath-Thabrani terdapat tambahan: “kemudian sahabat ini kembali menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan jawaban orang tersebut kepada beliau. Mendengar cerita sahabat ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “engkau akan bersama dengan orang yang kau cintai dan untukmu pahala atas apa yang kau harapkan dari rasa cintamu itu”. Hadist ini dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mustadrak (189/4).
Dari Habib bin ‘Ubaid, dari Miqdam ibnu Ma’dy Kariba –dan Habib menjumpai Miqdam ibnu Ma’di Kariba-, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ أَنَّهُ أَحَبَّهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya hendaklah dia memberitahu saudaranya itu bahwa dia mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 421/542, shahih kata Syaikh Al Albani)
Dari Mujahid berkata,
لقيني رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فأخذ بمنكبي من ورائي. قال: أما إني أحبّك. قال : أحبك الله الذي أحببتني له. فقال : لولا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا أحب الرجل الرجل فليخبره أنه أحبه. ما أخبرتك. قال: ثم أخذ يعرض علي الخطبة. قال: أما إن عندنا جارية، أما إنها عوراء
“Ada salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu denganku lalu ia memegang pundakku dari belakang dan berkata,
أما إني أحبّك
“Sungguh saya mencintaimu.”
Dia lalu berkata,
أحبك الله الذي أحببتني له
“Semoga Allah yang mencintaimu yang telah membuatmu mencintaiku karena-Nya.”
Dia berkata, “Kalau sekiranya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Jika seorang pria mencintai saudaranya hendaklah dia memberi tahu bahwa dia mencintainya“, maka tentulah ucapanku tadi tidak kuberitahukan kepadamu.” Dia lalu menyodorkan sebuah lamaran kepadaku sambil berkata,
“Kami memiliki seorang budak perempuan dia buta sebelah matanya (silakan engkau mengambilnya).”
(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod 422/543. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Inilah ajaran Islam yang mengajarkan untuk saling mencintai. Ketika kita mencintai saudara kita karena Allah, maka ungkapkanlah cinta tersebut dengan mengatakan, “Inni uhibbuk” atau “Inni uhibbuk fillah”. Lalu ketika saudaranya mendengar, maka balaslah dengan mengucapkan “ahabbakallahu alladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah yang membuatmu mencintaiku turut mencintaimu). Dan ini menunjukkan hendaknya cinta dan benci pada orang lain dibangun karena Allah, bukan karena maksud dunia semata.
Ibnu ‘Abbas berkata,
من أحب في الله، وأبغض في الله، ووالى في الله، وعادى في الله، فإنما تنال ولاية الله بذلك، ولن يجد عبد طعم الإيمان وإن كثرت صلاته وصومه حتى يكون كذلك. وقد صارت عامة مؤاخاة الناس على أمر الدنيا، وذلك لا يجدي على أهله شيئا.
“Siapa yang mencintai dan benci karena Allah, berteman dan memusuhi karena Allah, sesungguhnya pertolongan Allah itu diperoleh dengan demikian itu. Seorang hamba tidak akan bisa merasakan kenikmatan iman walaupun banyak melakukan shalat dan puasa sampai dirinya berbuat demikian itu. Sungguh, kebanyakan persahabatan seseorang itu hanya dilandaskan karena kepentingan dunia. Persahabat seperti itu tidaklah bermanfaat bagi mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir disebutkan dalam Kitab Tauhid Syaikh Muhammad At Tamimi)
Al Hasan Al Bashri berkata,
إنَّ أحبَّ عبادِ الله إلى الله الذين يُحببون الله إلى عباده ويُحببون عباد الله إلى الله ، ويسعون في الأرض بالنصيحة
“Sesungguhnya hamba yang dicintai di sisi Allah adalah yang mencintai Allah lewat hamba-Nya dan mencintai hamba Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasehat pada orang lain.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 224).
Semoga kita bisa saling mencintai karena Allah dan mendapatkan pertolongan-Nya.
Semoga Allah senantiasa menjaga agama kita dan menganugerahkan kepada kita petunjuk. Hanya kepada-Nya lah kita meminta. Aamiin.
Sumber:
http://rumaysho.com/akhlaq/aku-mencintaimu-karena-allah-6319
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/hukum-ucapan-aku-mencintaimu-karena-allah-kepada-lawan-jenis-yang-bukan-mahram.html
Selasa, 19 September 2017
Makna Qurrota a’yun (Penyejuk Jiwa)
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Qurrota a’yun maksudnya adalah keturunan yang mengerjakan ketha’atan, sehingga dengan ketha’atannya itu membahagian orang tuanya di dunia dan akhirat.”
Keturunan yang tha’at pada Allah akan menyenangkan orang tua dengan bakti dan pelayanannya. Akan menyejukkan hati orang tua dan keluarga dengan membacakan dan mengajarkan mereka mentadabburi al-Quran dan as-Sunnah. Keturunan yang taat pada Allah juga lebih bisa diharapkan menjaga keutuhan keluarga di atas agama yang mulia ini dan lebih bisa diharapkan doanya dikabulkan Allah untuk kebaikan orang tua dan keluarga.
Imam Hasan Al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman, demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya tha’at kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Imam Qurthubi menjelaskan makna “Qurrata A’yunin” adalah Sesungguhnya jika manusia diberi berkah dalam harta dan anaknya, maka matanya menunjukkan kebahagiaan karena keluarga dan kerabatnya. Sehingga ketika ia mempunyai seorang isteri niscaya berkumpul di dalam dirinya angan-angan kepada istrinya berupa: kecantikan, harga diri, pandangan, dan kewaspadaan. Jika ia memilki keturunan yang senantiasa menjaga ketha’atan dan membantunya dalam menunaikan tugas-tugas agama dan keduniaan, serta tidak berpaling kepada suami yang lain, dan tidak pula kepada anak yang lain. Sehingga matanya menjadi tenang dan tidak berpaling kepada yang lainnya, maka itulah kebahagiaan mata dan ketenangan jiwa.
Perintah Allah menciptakan generasi penyejuk jiwa :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَة
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS At-Tahrim : 6).
Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “Maknanya yaitu ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.”
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.”
By : Ali Farkhan Tsani
Keturunan yang tha’at pada Allah akan menyenangkan orang tua dengan bakti dan pelayanannya. Akan menyejukkan hati orang tua dan keluarga dengan membacakan dan mengajarkan mereka mentadabburi al-Quran dan as-Sunnah. Keturunan yang taat pada Allah juga lebih bisa diharapkan menjaga keutuhan keluarga di atas agama yang mulia ini dan lebih bisa diharapkan doanya dikabulkan Allah untuk kebaikan orang tua dan keluarga.
Imam Hasan Al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman, demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya tha’at kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Imam Qurthubi menjelaskan makna “Qurrata A’yunin” adalah Sesungguhnya jika manusia diberi berkah dalam harta dan anaknya, maka matanya menunjukkan kebahagiaan karena keluarga dan kerabatnya. Sehingga ketika ia mempunyai seorang isteri niscaya berkumpul di dalam dirinya angan-angan kepada istrinya berupa: kecantikan, harga diri, pandangan, dan kewaspadaan. Jika ia memilki keturunan yang senantiasa menjaga ketha’atan dan membantunya dalam menunaikan tugas-tugas agama dan keduniaan, serta tidak berpaling kepada suami yang lain, dan tidak pula kepada anak yang lain. Sehingga matanya menjadi tenang dan tidak berpaling kepada yang lainnya, maka itulah kebahagiaan mata dan ketenangan jiwa.
Perintah Allah menciptakan generasi penyejuk jiwa :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَة
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS At-Tahrim : 6).
Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “Maknanya yaitu ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.”
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.”
By : Ali Farkhan Tsani
Ishbir Ya Ukhti
QS. Al Imron:200.
Hai orang-orang yg beriman ,bersabarlah kmu dan kuatkanlah kesabaranmu and tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) and bertakwalah kepada Allah supaya kmu beruntung.
"ishbir..ya ukhti...", ya hanya tiga kata memang.
Tiga kata sederhana.
yang sanggup meruntuhkan sempitnya hati dan sesaknya jiwa.
Tiga kata sederhana.
yg dengan mudahnya melelehkan gumpalan-gumpalan gundah di hati and mataku
menusuk tajam naluri humanisku
ya ternyata.
bagaimana pun juga aku hanyalah manusia.
"ishbir..ya ukhti..."
Tiga kata sederhana.
yg bahkan dengannya ingin rasanya ku beli seisi dunia
sungguh, dunia seakan menjadi begitu murah.
dibandingkan harga dari tiga kata itu.
Ada ragu, ada harap, ada cemas, ada takut...ada cinta..
"ishbir..ya ukhti..."
Ya, ini bukan kali pertamanya aku menerimanya.
ada beberapa kali "isbhir" sebelumnya.
tapi selalu saja setiap kali kata "isbhir" itu keluar.
lidahku kelu, seakan bungkam ribuan alasan, argumen manapun..patah seketika!
detik itu juga.
................
tapi, ukhti...lidahku kelu bukan sembarang kelu..
Ya, aku harus sanggup, mampu, yakin!
Yakin bisa memeluknya erat-erat dalam perjalanan taqwa ini
Yakin bisa tetap bertahan walau tertatih...
Yakin! karena tiada lagi pelukan yang lebih menentramkan selain pelukanNya
Kemana lagi aku harus mencari ketentramana, ketenangan, jika bukan kepadaNya?
Kepada siapa lagi aku harus menagih cinta?
Kepada siapa lagi, jika bukan kepadaNya..
Rabb, kuatkanlah hamba...
Jika suatu keadaan itu memang terbaik untuk agamaku, da'wahku, duniaku, akhiratku, diri dan keluargaku maka dekatkanlah...
JIka suatu keadaan itu buruk, maka jauhkanlah...
dan takdirkanlah kebaikan dimanapun aku berada..
dan jadikanlah aku Ridho untuk menerimanya...
Hai orang-orang yg beriman ,bersabarlah kmu dan kuatkanlah kesabaranmu and tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) and bertakwalah kepada Allah supaya kmu beruntung.
"ishbir..ya ukhti...", ya hanya tiga kata memang.
Tiga kata sederhana.
yang sanggup meruntuhkan sempitnya hati dan sesaknya jiwa.
Tiga kata sederhana.
yg dengan mudahnya melelehkan gumpalan-gumpalan gundah di hati and mataku
menusuk tajam naluri humanisku
ya ternyata.
bagaimana pun juga aku hanyalah manusia.
"ishbir..ya ukhti..."
Tiga kata sederhana.
yg bahkan dengannya ingin rasanya ku beli seisi dunia
sungguh, dunia seakan menjadi begitu murah.
dibandingkan harga dari tiga kata itu.
Ada ragu, ada harap, ada cemas, ada takut...ada cinta..
"ishbir..ya ukhti..."
Ya, ini bukan kali pertamanya aku menerimanya.
ada beberapa kali "isbhir" sebelumnya.
tapi selalu saja setiap kali kata "isbhir" itu keluar.
lidahku kelu, seakan bungkam ribuan alasan, argumen manapun..patah seketika!
detik itu juga.
................
tapi, ukhti...lidahku kelu bukan sembarang kelu..
Ya, aku harus sanggup, mampu, yakin!
Yakin bisa memeluknya erat-erat dalam perjalanan taqwa ini
Yakin bisa tetap bertahan walau tertatih...
Yakin! karena tiada lagi pelukan yang lebih menentramkan selain pelukanNya
Kemana lagi aku harus mencari ketentramana, ketenangan, jika bukan kepadaNya?
Kepada siapa lagi aku harus menagih cinta?
Kepada siapa lagi, jika bukan kepadaNya..
Rabb, kuatkanlah hamba...
Jika suatu keadaan itu memang terbaik untuk agamaku, da'wahku, duniaku, akhiratku, diri dan keluargaku maka dekatkanlah...
JIka suatu keadaan itu buruk, maka jauhkanlah...
dan takdirkanlah kebaikan dimanapun aku berada..
dan jadikanlah aku Ridho untuk menerimanya...
Langganan:
Postingan (Atom)